Masuknya Bangsa Portugis di Sulawesi, khususnya di Kerajaan Gowa telah banyak memberi dampak positif pada perkembangannya kemudian. Hal ini dikarenakan orang Portugis dapat menjalin suasana persahabatan, bukan saja dengan bangsawan Makassar, tetapi juga dengan bangsawan Bugis pada jaman itu. Hal ini dapat dilihat dengan keluasan-keluasan yang diberikan oleh raja-raja Gowa dan beberapa di daerah Bugis untuk penyebaran agama yang di bawah oleh mereka.
Awal hubungan Bangsa Portugis dengan Masyarakat Sulawesi.
Sejak perkenalan yang pertama kali (pra Islam) antara orang Portugis dangan orang Makassar. Telah terjadi kontrak dagang yang juga dimanfaatkan oleh orang Portugis untuk menyebarkan agama. Masuknya Portugis di Sulawesi bermula pada tahun 1573 ketika kapal Ortiz the Tavora mengalami kecelakaan di pantai pulau Selayar. Raja Makassar memberikan pertolongan dan membawanya kembali ke Maluku. Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1641, maka banyak orang Portugis yang membanjiri Makassar, tidak sedikit dari mereka yang menetap.
Dengan masuknya orang-orang Portugis di Sulawesi, Sultan Muhammad Said (1639-1653) mengizinkan orang Portugis berdagang secara bebas di Makassar dan mereka pun bebas menganut agama mereka. Seperti yang telah dilaporkan oleh parah pedagang Inggris yang telah mengunjungi Batavia, bahwa antara 10 hingga 20 kapal Portugis di Madiun dan Makassar setiap tahunnya datang dari Macoa, Malaka dan pelabuhan Coromandel, di sana kadang-kadang ada 500 Portugis, mereka diberikan kebebasan dalam menjalankan agamanya oleh pihak penguasa, mereka tiba pada bulan November-Desember dan pada bulan Mei berikutnya, lalu menjadikan Makassar menjadi entrepot bagi penjualan beberapa barang yang mereka bawa.
Dalam perdagangan, Portugis membawa barang-barang berupa kain, bahan mentah sutera, emas, serta barang dagang lain dari Cina. Sejumlah besar kain dijual di Makassar, dan kain ini dijual oleh orang-orang Melayu. Oleh penduduk di sana dibawa ke daerah-daerah di sekitarnya dan beberapa daerah kepulauan. Di Makassar, Portugis membeli barang-barang dari Maluku berupa sandal kayu, lilin kulit, kura-kura, dan batu besoar dari Kalimantan, bersama dengan berbagai jenis barang dagangan lainnya.
Lukisan kapal-kapal Portugis berlabuh di pantai. Foto: tangga.id |
Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipallangga Ulaweng (1546-1565), di samping raja memberi ijin orang Portugis mendirikan perwakilan dagang di Makassar, juga sebaliknya banyak bangsawan Gowa yang mempelajari peradaban dan bahasa mereka, selai itu dengan adanya Portugis, pihak Gowa mendapatkan keuntungan dalam pengikatan sarana-sarana fisik dari perkembangan dalam bidang keahlian. Seperti membangun benteng dan rumah-rumah di dalam keraton, dengan hubungan ini pula mengakibatkan Bandar Somba Opu menjadi semakin ramai dan besar.
Persahabatan antara orang Portugis yang beragama Katolik dan orang Makassar yang beragama Islam semakin erat dengan semakin meningkatnya kekuatan belanda di perairan Nusantara, persahabatan itu pula tumbuh terutama karena tidak disenanginya usaha-usaha Belanda untuk mengadakan monopoli rempah-rempah dari Maluku. Bahkan senjata yang sebenarnya tidak boleh di jual bebas, namun atas dispensasi Paus, Portugis memperbolehkannya dijual pada orang Makassar.
Dari sudut pandang politik praktis murni, orang Makassar memandang orang Portugis sebagai sekutu yang paling terpercaya dibandingkan Belanda, yang pada tahun 1630 semakin yakin bahwa satu-satunya cara yang biasa mereka lakukan untuk menguasai perdagangan Makassar adalah lewat kekerasan. Orang Portugis ketika diusir dari pangkalannya satu per satu, memandang sebagai suatu persekutuan untuk mempertahankan kepentingan komersil yang ada pada kawasan itu. Oleh sebab itu tidak meragukan persekutuan ini bertahan hingga kejatuhan Makassar pada Belanda. (Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, hal. 23).
Raja-raja Bugis masuk Kristen (abad ke-16).
Sejumlah penguasa kerajaan di Sulawesi Selatan pada abad ke 16, pernah dibaptis masuk Kristen, antara lain penguasa kerajaan Tallo, Suppa, Siang (Pangkajenne), Bacukiki, Alitta, dan Gowa. Penyebaran agama Katolik di Sulawesi-Selatan oleh Portugis, yang datang dari Malaka menuju ke daerah Ajatappareng dan Suppa lalu ke Siang (Pangkajenne). Injil masuk ke Gowa dari Ternate pada tahun 1539, sementara ke Ajattapareng, Suppa dan Siang, tahun 1534.
Kristenisasi raja-raja Bugis/Makassar dimulai dengan kedatangan seorang pedagang Portugis, Antonio de Paiva yang tertarik pada kekayaan daerah Indonesia Timur, khususnya kayu cendana. Mula-mula Antonio datang ke Siang, kemudian singgah di Suppa. Pada kesempatan itulah penguasa di Suppa dan Siang dibaptis setelah perdebatan teologis yang hangat.
Peta kuno Sulawesi buatan Portugis abad ke14. Foto: dediniblog.wordpress.com |
Tahun 1537 raja Gowa mengirim suatu perutusan kepada Antonio Galvao, panglima Portugis di Ternate, untuk meminta perlindungan terhadap Ternate. Di Ternate dua pangeran Makassar dibaptis. Sekembalinya ke Makassar mereka mengadakan propaganda untuk agama Kristen, dan banyak berhasil, sehingga meminta imam Katolik dari Ternate.
Tetapi oleh serangan angin topan, kapal yang membawa dua orang imam itu berlabuh di Filipina dan bukan di Makassar. Baru pada enam tahun kemudian sebuah kapal Portugis tiba lagi di Makassar untuk memuat kayu cendana. Pada kesempatan itu raja Supa (dekat Pare-pare) dan raja Siang dibaptis.
Apa alasan kedua penguasa ini mau dibaptis masuk agama Katolik? Kemungkinan untuk membuat persekutuan militer dalam menghadapi serangan kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Di kisahkan, ketika Antonio de Paiva kembali ke Malaka, ikut serta utusan dari kedua penguasa ke Malaka untuk meminta Gubernur Malaka mengirimkan imam Katolik ke Suppa dan Siang dan jika mungkin bantuan militer. Bahkan ikut pula serta dua putra penguasa dari Suppa. Kedua pemuda itu, kemudian dibawa ke Eropa.
Mendengar permintaan kedua penguasa di Sulawesi Selatan itu, misionaris Katolik yang terkenal, Franciscus Xaverius, berangkat ke Malaka dan dari sana ia mau ke Suppa, tapi batal, karena di terjadi perang antara Wajo dan Sidenreng. Sidenreng bersekutu dengan Suppa dan Siang. Sebelumnya sudah datang pastor Vicente Viegas dari Malaka, dan dialah yang membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki.
Kekristenan di Suppa, Siang, Alitta dan Bacukiki berakhir karena seorang perwira Portugis yang bernama Juan de Eredia membawa lari seorang putri penguasa Suppa. Orang-orang Portugis buru-buru meninggalkan Suppa dan membawa putri penguasa Suppa tersebut ke kapal.
Anak blasteran putri penguasa Suppa dengan perwira Portugis itu bernama Manuel Godinho de`Eredia, ibunya juga diberi nama Portugis, Donna Ele’na Vesiva. Manuel Godinho menjadi seorang terpelajar, ia menjadi penulis dan ahli geografi. Dialah yang pertama kali menyebut adanya pulau di sebelah selatan Timor yang kemudian dikenal sebagai Australia.
Tuliskan Komentar