Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam sendiri di bawa ke Tana Luwu oleh Datu Sulaiman dan Datu ri Bandang yang berasal dari Koto Tengah, Minangkabau.
Hal-hal mistik banyak mewarnai proses awal masuknya Islam di Luwu. Diyakini bahwa Datu Sulaiman dan Datu ri Bandang datang ke Luwu dengan menggunakan perahu ajaib berupa kulit kacang. Mereka pertama kali tiba di Luwu tepatnya di desa Lapandoso, kecamatan Bua, kabupaten Luwu (sekarang).
Setelah sampai, Datu Sulaiman lalu dipertemukan dengan pemimpin wilayah Bua yang saat itu dijabat oleh Tandipau. Sebelum menerima agama yang dibawa oleh kedua Datu itu, Tandipau terlebih dahulu ia ingin mengadu ilmu kesaktian dengan Datu Sulaiman, apabila ilmu Datu Sulaiman dianggap lebih tinggi, maka Tandipau bersedia menerima agama Islam.
Tantangan itu adalah Tandipau akan menyusun telur sampai tujuh tingkat, apabila Datu Sulaiman mengambil telur yang ada di tengah-tengah tetapi telur itu tidak jatuh atau bergeser sedikit pun, maka Tandipau akan mengakui ajaran agama Islam yang dibawa oleh Datu Sulaiman.
Tandipau berani mengucapkan kalimat syahadat asalkan tidak diketahui oleh Datu Pattiware karena ia takut durhaka bila mendahului Datu Pattiware yang merupakan rajanya. Sebelum ke Malangke (Ware) untuk menghadap Datu Pattiware, ke dua datu itu terlebih dahulu membangun sebuah masjid di Bua tepatnya di desa Tana Rigella yang merupakan masjid tertua di Sulawei Selatan.
Setelah membuat masjid di Bua, Datu Sulaiman lalu diantar ke Ware untuk menemui Datu Pattiware. Setelah terjadi dialog siang dan malam antara Datu Pattiware dengan Datu Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya, maka Datu Pattiware pun bersedia diislamkan bersama seisi istana. Islam lalu dijadikan sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum.
Masjid Djami Tua Palopo. Foto: palopokota.go.id |
Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaan, penduduk yang jauh dari Ware dan Bua masih tetap menganut kepercayaan terhadap Dewata Seuwae dari Sawerigading. Mereka mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran agama yang dibawa oleh Datu Sulaeman.
Setelah berhasil mengislamkan Datu Pattiware, Datu ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu pergi untuk menyebarkan Islam didaerah Kerajaan Gowa. Sedangkan Datu Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Datu Sulaeman kemudian wafat dan dimakamkan di Malangke, tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Datu Pattimang.
Saat pusat kerajaan Luwu yang berada di Ware (Malangke) dipindahkan ke wilayah baru yang di kemudian hari wilayah tersebut dikenal dengan nama Kota Palopo, Datu Pattiware memerintahkan pembangunan suatu masjid yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menunaikan Shalat secara berjamaah yang letaknya tidaklah jauh dari istana Luwu. Masjid itu sendiri dibuat oleh Pong Mante pada tahun 1604, masjid itu sekarang dikenal dengan nama Masjid Djami Tua Palopo.
Batu yang dipakai untuk membangun masjid itu didatangkan dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer dari Toraja hingga ke Luwu lalu batu-batu itu dioper satu per satu. Sedangkan bahan yang dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah menggunakan putih telur.
Nama Kota Palopo itu sendiri yang sudah lama kita kenal berasal dari kata dalam bahasa Bugis “Pallopo’ni” yang diucapkan oleh orang-orang saat ingin menancapkan tiang Masjid Djami Tua. Arti kata “Pallopo’” yang secara bebas berarti “masukkan dengan tepat.”
Setelah berdiri selama empat abad, bangunan Masjid Djami Tua Palopo masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002 yang lalu Masjid Djami Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua terbaik se-Indonesia, mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di Indonesia. Setelah berkembang selama lebih empat abad, agama Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
Tuliskan Komentar