Sebuah kerajaan pada umumnya hanya dipimpin oleh seorang raja saja, ada juga seorang raja yang memimpin lebih dari satu kerajaan, ini mungkin masih dalam batas yang lumrah, namun bagaimana dengan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh lebih dari satu raja secara bersamaan?
Dalam beberapa catatan sejarah terdapat sejumlah kerajaan yang pernah dipimpin oleh lebih dari satu raja secara bersamaan. Di Nusantara sendiri ada Kesultanan Mataram yang pernah dipimpin oleh dua raja sekaligus, yaitu raja Amangkurat III dan Pakubuwana I, salah seorang raja Mataram itu memang sengaja diangkat oleh Belanda dalam upaya melaksanakan politik pecah Belahnya (devide et impera), pada perkembangan selanjutnyapun Kesultanan Mataram terpecah menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Di Sulawesi Selatan juga pernah berkembang sistem seddi ata dua arung (satau kerajaan dua raja), di antara kedua raja itu ada yang digelari Arung Matoa (raja tua) dan Arung Malolo (raja muda), tapi hanya salah satunya saja yang memiliki kekuasaan penuh.
Namun bagaimana ketika satu kerajaan dipimpin oleh 40 raja secara bersamaan dan kesemuanya berkuasa secara penuh? Hal unik ini pernah ada pada salah satu kerajaan di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Nepo yang sekarang telah menjadi bagian dari Kabupaten Barru.
Diceritakan dalam buku “Kerajaan Nepo: Sebuah Kearifan Lokal dalam Sistem Politik Tradisional Bugis di Kabupaten Barru” yang ditulis oleh A. Rasyid Asba, pada awalnya Kerajaan Nepo dipimpin oleh 40 raja secara bersamaan, keempat puluh raja ini kemudian digelari Arung Patappuloe (Raja Empat Puluh).
Yang memerintah pada kerajaan ini bukan hanya satu raja, melainkan ada empat puluh raja yang memerintah secara bersama-sama, keempat puluh raja ini memang masih memiliki hubungan kekeluargaan hingga hubungan kekerabatan. Tidak diketahui secara pasti asal-usul Arung Patappulo ini, sangat sedikit sumber sejarah yang menceriterakan keempat puluh raja ini, hanya kronik-kronik Bugus berupa Lontara Nepo dan tradisi lisan yang berkembang pada kalangan masyarakat.
Makam raja Nepo |
Hanya beberapa nama saja yang diketahui dan disebutkan dalam Lontara Nepo, adapun beberapa nama-nama raja Arung Patappuloe itu diantaranya Arung Talabangi, Arung Pacciro, Arung Taggilitta, Arung Pabbiungngeng, Arung Lattureng, Arung Langello, Arung Massikku, Arung Cimpu, Arung Maroanging, Arung Dusung, Arung Ngatappa.
Dalam melaksanakan pemerintahan, tidak ada satu raja yang memiliki kedudukan lebih tinggi, kesemua empat puluh raja ini semuanya sama-sama berkuasa, disinilah kesulitannya, maka timbullah keinginan untuk memilih salah seorang yang berhak berkuasa secara penuh di kerajaan Nepo, namun tak pernah ada kesepakatan siapa diantara mereka yang berhak berkuasa secara penuh.
Terdapat sebuah peristiwa menarik yang menggambarkan keadaan komunikasi politik dari Arung Patappulo ini. Pada suatu waktu, Datu Suppa (kerajaan yang pernah berdiri di wilaya Pinrang sekarang) melaksanankan sebuah acara, semua raja-raja dari kerajaan tetangganya diundang untuk hadir di acara tersebut, termasuk raja dari Kerajaan Nepo.
Ketika arung Patappuloe tiba di Suppa, timbullah sebuah masalah, kursi yang disediakan untuk Raja Nepo hanya ada satu, sementara Nepo memiliki 40 raja yang semuanya datang, karena hal tersebut maka Arung Patappuloe hanya diberikan tempat di kolom rumah saja sebab tidak muat untuk berada di tempat raja yang disediakan.
Baca juga: Kompleks Makam Raja Nepo
Sejak peristiwa tersebut, Arung Patappuloe merasa penting untuk menunjuk seorang raja yang berkuasa secara penuh, maka diutuslah seorang menemui Datu Suppa untuk menunjuk siapa yang berhak berkuasa di Nepo. Datu Suppa kemudian menunjuk anaknya Arung La Bonggo yang bujang dan tak memiliki pekerjaan agar menjadi raja di Nepo, semua Arung Patappuloe juga menyetujui usul Datu Suppa itu.
Pengangkatan La Bonggo sebagai Raja Nepo didasarkan pada pertimbangan politik bahwa permusuhan antara Arung Patappuloe bisa dihindari, karena masing-masing dari mereka ingin berkuasa, apabila salah seorang diantara mereka menjadi raja, maka yang lainnya berusaha untuk menjatuhkannya dari tahta.
Dengan berkuasanya La Bonggo di Nepo juga mencegah kerajaan Nepo diserang oleh kerajaan lainnya karena Nepo telah dianggap sebagai keluarga oleh kerajaan Suppa, sementara kerajaan Suppa pada masa itu merupakan kerajaan yang cukup disegani di sekitar Ajatappareng.
La Bonggo kemudian dikirim ke Nepo untuk menjadi raja. Dalam pemerintahannya, La Bonggo tetap dibantu oleh Arung Patappuloe yang telah berstatus sebagai penasehat kerajaan.
Pada suatu saat Raja Suppa mengadakan acara kerajaan yang mengundang para raja tetangganya, termasuk Nepo yang sebelumnya dipimpin oleh Arung/Ade Patappuloe. Untuk tamu kerajaan hanya dipersiapkan jata 1 kursi dan 1 piring pertiap raja yang diundang. Undangan dari Nepo bukan seorang yang diundang, tetapi mereka berkelompok datang bersama dengan sejumlah 40 orang. Kursi bersama piring sebagai jata pertiap undangan. Walhasil, para undangan di antaranya Nepo tidak dilayani kecuali dgn 1 orang yang menyebabkan sisa dari mereka tidak kebagian kursi dan makanan. Mereka kembali dengan rasa malu dan kecewa bahwa sistem politik mereka tidak dikenal di daerah lain dan hendaknya diadakan memilih petinggi politik yang hanys terdiri atas 1 org.
di Mallusetasi sebelum berdiri sebagai Kerajaan Lili’ ditandai dengan kedatangan La Bongngo diangkat sebagai Raja bergelar Petta Ri Nepo pertama pada perkiraan akhir abad 18 (1773), kerajaannya disebut wilayah dipimpin Ade,’ Patappuloe, yakni kerajaan berjamaah dengan jumlah raja 40 orang, waktu itu wilayahnya berada dibawah naungan Kerajaan Persekutuan Ajang Tappareng dipimpin raja di raja misalnya La Makkawaru dan La Todani masing2 adalah Raja Addatuang Sidenreng, jadi Arung/Ade’ PatappuloE adalah kerajaan berdiri sebelum Kerajaan Nepo dalam bahasa Bugis disebut Arung MarioloE.
Menulis sejarah di Kabupaten Barru khususnya di Kecamatan Soppeng Riaja dan Mallusetasi jangan sembarangan ditulis sebab boleh jadi lebih banyak fiktifnya dari pada positifnya, seperti kisah Labongngo, dan jangan menulis raja dengan sisilah keluarga yang seenaknya diterima, misalnya I Sima Tana anak dari I Messang, I Sima Tana itu anak turunan dari Raja Tanete, Barru, Soppeng dan Mandar, sedangkan I Messang adalah moyangnnya Ade patappuloE, sehingga nama wilayah sebelum Nepo disebut Amessangeng maksudnya dari ke 40 orang tersebut tidak ada orang lain, keculi mereka sama semuanya bahasa Bugisnya Iyamessang degaga tolain yarega to tama2, Saya harap jangan sampai maksudnya untuk memperbaiki sejarah, ternyata membuat generasi kita di belakang pahamnya salah, silahkan kalau ada mau ditulis, saya bersedia memberikan masukan, sebab kelihatan tulisannya banyak salah tempat. Mohof maaf atas perhatiannya terima kasih.
Untuk Kabupaten Barru saya sudah menulis sejarah keseluruhannya, ada yang sudah dipublikasikan, misalnya Kerajaan Barru, dan Kerajaan Tanete sebagai tambahan yang tidak pernah ditulis orang yaitu Coppo’ Lalabata Tanete Bumi Hak Milik Arung Tompo Bulu Matajang. Adapun di Soppeng Riaja dan Mallusetasi terdapat 5 judul diangkat belum dipublikasikan, insyaallah dalam waktu tidak lama akan diselesaikan untuk menghadapi masa akan kebangkitan sejarah khususnya di Kabupaten Barru.
mau tanya apakah keturunan raja tanete ada dipinrang karena menurut orang tuaku puang daimeng istri datu bode adalah cucunya raja tanete